Malam itu saya tiba-tiba mendapatkan pesan Whatsapp dari tetangga sebelah, Lennart. Intinya dia cuma mau tanya apakah musik dia mengganggu saya, terlebih ketika tengah malam. Ternyata ada hal yang lebih menarik dari pembicaraan musik. Dia bertanya, apakah foto bayi di Profpict Whatsapp saya itu adalah anak saya.
Saya bertanya balik, ''Apa saya terlihat seperti sudah menikah?''
Mungkin dia merasa aneh dengan pertanyaan saya tersebut. Dia pun menjawab pertanyaan saya, dengan pertanyaan lain, ''Kenapa harus menikah dulu untuk bisa menjadi ibu? Orang kan juga bisa punya anak tanpa harus menikah dulu...''
Aha.. saya baru menangkap arah pembicaraan dia. Saya lupa bahwa saya sedang berbicara dengan mereka, yang hidup di negara bebas, dan bahwa menikah bukanlah hal yang wajib. Pembicaraan kami lewat Whatsapp pun berlanjut. Mengalir dengan tema agama..
Sepertinya hal tersebut membuat dia benar-benar penasaran. Saya kira pembicaraan kami sudah selesai. Ketika di dapur, dia melanjutkan lagi tema ini. Saya pusing dibuatnya. Kalau saja saya bisa menjelaskan ke dia dengan bahasa indonesia, atau kalau saja saya bisa lancar berbahasa jerman sampai-sampai bisa menerangkan tema rumit ini dengan sederhana.
Sampai pada titik pembicaraan kami, dia mengakui bahwa menikah adalah pilihan terbaik daripada hanya ''Zusammenleben'' atau tinggal bersama. Namun jika orang menikah, dan nantinya harus bercerai, proses itu sangatlah rumit menurutnya. Sehingga dia-dan sebagian besar orang jerman- memilih untuk hanya tinggal bersama tanpa terikat hukum. Sampai satu hal mengganjal dalam hati nya. Bagaimana kita bisa tau, bahwa pasangan kita saat itu adalah yang terbaik? Dia lebih cenderung memilih-dengan merasakan tinggal bersama-sehingga tau apakah wanita yang bersamanya adalah cocok untuknya.
Saya pun bertanya pada diri sendiri. Lalu bagaimana jika cinta itu dipertemukan karena cinta kepada Yang-Maha-Pencipta, Yang-Maha-Kuasa? Sehingga ke-tidak-cocokkan bukanlah hal yang berarti, dia hanya sebatas penghias kehidupan?
No comments:
Post a Comment