Pages

Sunday, June 28, 2015

Ramadan in Gießen (Maroko, Bosnia & Afghanistan)

Malam itu cahaya matahari masih menerangi langit kota Gießen. Sekitar pukul 21.00 saya bersiap-siap untuk pergi ke Masjid Buhara, masjid milik Turki. Tentunya bersiap-siap untuk Iftar dan shalat magrib berjamaah disana. Setiap weekend, masjid turki ini ramai oleh para jamaahnya yang sebagian besar tentunya orang Turki. Beberapa orang tua tidak bisa berbahasa Jerman, hanya bahasa Turki. Sehingga seringkali kita berbicara menggunakan bahasa tubuh. Namun para remajanya sangat fasih berbahasa jerman dan turki. Ya, sebagian besar dari mereka lahir dan besar di Jerman. 

Malam ini tapi berbeda dari biasanya. Hanya sedikit jamaah wanita yang datang ke masjid. Bahkan di tempat ibadah wanita hanya ada dua wanita yang sedang duduk di sudut belakang masjid, dan satu lainnya sedan shalat. Saya pun mengucapkan salam kepada dua wanita tersebut dan bergegas untuk shalat sunnah. 

Setelah selesai shalat, wanita lain yang sebelumnya sedang shalat menghampiri saya. Mengucapkan salam dan memeluk saya. Ternyata dia adalah Nira, teman baru saya dari Maroko. Kami memang baru berkenalan sekitar 3 hari yang lalu. Namun rasanya kami sudah seperti saudara dekat. Nira bercerita pada saya bahwa akhir-akhir ini dia tidak berani pergi ke masjid dan menetap sampai shalat tarawih. Pasalnya shalat tarawih selesai sangat larut, sekitar pukul setengah 1. Beberapa waktu lalu ia dan temannya tertinggal bus yang harusnya ia naiki untuk sampai ke rumah. Lalu datang seorang pria jerman yang sedang mabuk dan memukul salah satu teman Nira. Mereka pun ketakutan namun juga melakukan perlawanan. Si pria mabuk ini bekata dengan keras bahwa wanita berkerudung harus pergi, pulang ke negara asal. Miris.. saya mendengar ceritanya. Sampai akhirnya polisi datang dan membawa pria mabuk tersebut ke kantor polisi. Memang... sebagian besar penduduk Jerman tidak rasis terhadap suatu kelompok agama, negara atau apapun. Namun tetap saja penduduk yang nicht ausgebildet (tidak berpendidikan) dan tukang mabuk masih banyak di sini dan melakukan tindakan sangat tidak wajar.

Waktu berbuka sebentar lagi tiba. Saya dan Nira bergegas pergi ke halaman belakang masjid. Disana ada tenda tempat kita berbuka puasa. Sebelum keluar masjid, dua wanita lain yang duduk di sudut belakang memberhentikan kami. Lalu salah satu dari mereka bertanya, "Entschuldigung.. wo kann man hier fastenbrechen?" - Permisi.. dimana kita bisa buka puasa?. Ternyata dua wanita ini baru pertama kali datang ke masjid ini. Saya dan Nira pun mengajak mereka ke halaman bersama.

Setelah berkenalan, ternyata dua wanita ini berasal dari Bosnia. Edita adalah si ibu, dan wanita satu nya adalah anaknya. Melihat percakapan Edita bersama anaknya yang menggunakan bahasa inggris, saya sangat penasaran dibuatnya. Ternyata Edita baru 1 tahun tinggal di Jerman. Sebelumnya ia bersama suaminya yang berasal dari Algeria dan 3 anak perempuannya tinggal di USA selama 15 tahun. Semakin seru perbincangan, saya pun mengetahui bahwa Edita bekerja di Alloheim, panti jompo tempat saya bekerja sekitar setahun yang lalu. Saya seperti membuka memori lagi.. Kenangan selama bekerja disana.. mengurus anak-anak dan orang tua yang sudah tidak bisa hidup normal. Saya bertanya pada Edita mengenai keadaan mereka. Alex, Katty, Herr "Küschi" dan lainnya.. Ah, saya masih ingat mereka.. 

Waktu sudah menunjukkan pukul 22.15. Saya harus bergegas untuk pulang, karena bus terakhir saya datang pukul 22.22. Edita cepat-cepat memberikan nomor hp nya pada saya, karena dia ingin mengundang saya & teman-teman untuk berbuka puasa bersama hari Minggu ini di masjid arab. Dia tahu bahwa saya masih pelajar dan tidak punya kendaraan pribadi. Sementara transportasi di Minggu malam selalu sulit. Sehingga dia menawarkan untuk menjemput & mengantar saya pulang selepas berbuka puasa di masjid malam nanti. Saya tersenyum riang..

Di perjalanan pulang, saya harus transit di Berliner Platz untuk bisa naik Bus yang menuju arah rumah saya.. 15 menit saya bersama teman saya duduk di halte. Bersama dengan "kawula muda" Jerman yang sedang bersiap memulai malam minggu mereka. Selagi menunggu bus, datang seorang pria dan satu wanita menghampiri kami. Mereka menyapa menggunakan bahasa yang tidak kami kenali. Sedikit mirip bahasa arab, namun juga sepertinya bukan? Si pria pun mencoba menggunakan bahasa inggrisnya yang kami pun tetap sulit mengerti. Ah.. ternyata mereka adalah pengungsi yang datang dari Afghanistan. Mereka ingin pergi ke tempat penampungan yang ada di daerah Rödgen sana. Dengan komunikasi yang sangat terbatas, kami pun membantu mereka menemukan bus untuk pergi ke penampungan pengungsi disana. Kasihan, mereka terlihat sangat lelah. Tidak terbayang  juga bagaimana sulitnya bagi mereka harus terpaksa mengungsi ke negara yang bahasa dan budaya nya saja sudah berbeda. Namun apadaya, mereka tidak punya pilihan lain selain mengungsi. Negara mereka sekarang tidak bisa disebut ''rumah''.

Semoga Allah menguatkan hati-hati kami, hati-hati kaum muslimin dimanapun berada. Aaamiinn...







Perpustakaan Universitas Gießen
28 Juni 2015
*doakan saya untuk ujian semester ini :D*

1 comment: