Ja ja.. cukup sekali saja hehe. Kali ini (atas
permintaan beberapa orang juga) saya ingin berbagi pengalaman mengenai persiapan
dan pelaksanaan physikum.
Sebelum dimulai, udah tau kan apa itu
Physikum? Kalo belum sila baca http://syifamaisani.blogspot.de/2014/10/sistem-kuliah-kedokteran-di-jerman.html Singkatnya
sih ujian negara. Kenapa saya bilang Physikum cukup sekali saja.. Karena untuk lulusnya penuh penuh perjuangan
besar. Saya kapok hehe
Semester 4 memang semester paling santai..
Sedikit presentasi, sedikit kuliah, praktikum biokimia yang lebih chillig dibanding praktikum fisiologi di
semester 3, juga sedikit ujian akhir semester. Dafuer ist aber Physikum sebagai penggantinya.
Memasuki awal semester 4 saya sudah membuat
jadwal belajar mempersiapkan Physikum. Dimulai dengan Fisiologi, pelajaran yang
sulit dimengerti untuk saya. Fisiologi 2,5 Minggu, Biokimia 2,5 Minggu, Anatomi
2 Minggu, lanjut dengan Fisika Kimia Biologi dan Psikologi 1 Minggu. Setiap
hari kerja saya cuma membaca skrip2 pelajaran tersebut, mengulang juga
mengerjakan soal Physikum tahun-tahun sebelumnya agar tau bagaimana bentuk soal
dan tema apa saja yang sering keluar.
Sangat sulit fokus mempersiapkan Physikum
selama bulan Oktober hingga Januari. Pasalnya ada kesibukan kuliah lainnya
seperti praktikum biokimia di Labor yang memakan waktu 6-8 jam setiap
minggunya, juga presentasi sana sini. Awal Februari tiba, mulailah fokus tancap
gas untuk Physikum. Bangun tidur lebih awal, gelap-gelap naik sepeda pergi ke
perpustakaan. Menunggu sampai perpustakaan buka lalu berebut ruangan paling
nyaman dengan para mahasiswa “streber” lainnya. Belajar di perpustakaan mulai
dari setengah 8 pagi sampai jam 11 malam menjadikan kamar dirumah hanya sebatas tempat rebahan, menunggu datangnya hari
esok untuk melanjutkan belajar di perpustakaan.
Kulkas dirumah kosong tanpa persediaan makanan, kamar penuh dengan
kertas kertas catatan dan buku-buku pelajaran, tembok berisi penuh dengan
tulisan-tulisan physikum, pakaian kotor yang menumpuk disudut kamar dan tak
lupa juga, otak saya yang penuh dengan pikiran physikum physikum dan physikum.
Sampai saatnya tiba tanggal 10 dan 11 Maret
untuk mengikuti Physikum tertulis. Pukul setengah 9 pagi sebagian besar
mahasiswa sudah berkumpul di depan Kongreshalle Berliner Platz, tempat ujian
kami. Pintu gerbang dibuka jam 9 pagi. Kami pun
masuk ke ruangan Kongres tersebut dan mencari tempat duduk masing-masing
berdsarkan nomor ujian. Tempat saya cukup enak, tidak terlalu depan juga
terlalu belakang. Setelah pengawas
membacakan peraturan selama ujian, kami pun memulai mengerjakan soal. Halaman pertama.. kedua.. ketiga.. ah... saya
lewati.. Itu semua soal fisika. Saya
tidak mau dibuat pusing sejak awal dengan fisika. Saya pun mulai dengan soal
nomor 20. Pelajaran Fisiologi dan Biokimia. Satu jam berlalu... soal-soal ujian
tiba-tiba merasa sulit dimengerti. Mendadak tidak mengerti bahasa jerman. Saya
panik. Tak lama Ibu pengawas naik ke atas panggung dan berkata ”Meine Damen und
Herren, jetzt ist schon halbe Zeit durch”--“Para peserta diinfokan bahwa
setengahnya waktu sudah lewat”. Halbe Zeit? Setengahnya waktu? Apa artinya.. apa maksudnya waktu tinggal
setengah jam lagi? Atau maksudnya setengah dari waktu seharusnya? Saya
benar-benar panik.. tidak bisa mengerti bahasa jerman. Kaki saya mulai dingin.
Peserta ujian dibelakang saya pun mulai berisik dengan menggerakkan sepatunya,
sehingga konsentrasi saya benar-benar buyar. Saya teguk air putih dihadapan
saya. Masih panik. Saya ambil bekal yang dibawa, saya makan dan rehat sejenak.
Saya pun memutuskan pergi ke toilet untuk mencuci muka. Ya.. alhamdulillah.. sekarang saya segar
lagi. Kembali saya melanjutkan mengerjakan soal ujian sampai ketika dimana
hanya soal fisika lah yang belum saya jawab. Urgghhhh.. gerutu saya. Memang
saya tidak suka fisika! Dari 4 jam waktu ujian dengan 160 soal, saya butuh 1
jam sendiri untuk bisa mengerjakan soal fisika yang hanya 20 soal... Waktu
ujian pun habis. Saya menarik napas dalam-dalam. “Das warrr richtiggg schlimmmm!!!”--“Tadi itu
parah bangeeettt!!”, gerutu saya dalam hati.
Hari pertama Physikum tertulis benar-benar
membuat saya down. Saya kurang yakin bahwa saya bisa lulus. Banyak soal yang
sulit dikerjakan, banyak jawaban yang saya tebak. Argh.. pasrah.. Fix und
fertig! Saya terkapar diatas kasur. Mengistirahatkan badan dan pikiran yang
habis dipompa selama 4 jam tadi.
11 Maret 2015, Physikum hari ke dua dengan
pelajaran Biologi, Anatomi, Histologi dan Psikologi. Ini adalah kesempatan
terakhir saya untuk mengumpulkan banyak poin agar bisa lulus. Kemarin biarlah
jadi kemarin. Kali ini tidak ada panik, pikir saya optimis. Pukul 09.05 ujian
pun dimulai.. Yap! Benar saja.. Kali ini jauh lebih baik dari kemarin. Banyak
soal yang bisa langsung saya jawab. Saya tidak lagi peduli dengan teman di
belakang saya yang sering membuat kegaduhan kecil. Tepat dua jam kemudian, saya
selesai mengerjakan 160 soal Physikum. Masih ada sisa waktu 2 jam lagi, saya
gunakan untuk mengecek jawaban atau mungkin melihat kembali jawaban yang kurang
yakin. Dan waktu pun habis.
Oje.. Physikum benar-benar membuat saya lelah.
Tidak habis pikir. Mengapa orang jerman suka sekali membuat ujian 4 jam non
stop tanpa istirahat sekalipun. Selama dua hari berturut-turut. Ketika
Hammerexamen bahkan lebih parah lagi. Sehari 5 jam, selama 3 hari
berturut-turut. Ya mungkin memang para bule ini hobinya belajar. Terima saja.
Siapa suruh mau kuliah disini, Syif :D
Selesai Physikum tertulis bukan berarti
selesai semuanya. Es kommt noch Physikum lisan. Kelompok saya kebagian tanggal
20 Maret jam 9 pagi. Persiapan ujian lisan ini lebih penuh drama. Saya seringkali
menangis karena sulitnya mempelajari tema yang diinginkan dosen-dosen penguji
atau juga karena stress. Saya lelah.
Tidak sanggup lagi belajar. Terlalu keras kuliah disini. Cuma ingin liburan.
Jumat, 20 Maret 2015 pun tiba. Pukul 08.30 saya
bersama teman saya Can Luo dari China sudah berada di ruangan uji. Kami
menunggu Professor Middendorf selaku kepala penguji kami. Panik? Alhamdulillah
tidak. Entah mengapa saat itu saya merasa tenang sekali. Tidak panik, tidak
gugup. Professor Middendorf mulai memberikan kami preparat untuk dilihat
dibawah mikroskop. Dari awal saya hanya berharap, semoga bukan preparat tulang,
ovar ataupun otak. Kenyataannya, ya.. saya mendapatkan preparat yang saya tidak
mau. Tulang. Errrr... Preparat tersebut harus kami teliti dan hasilnya kami
tulis diatas kertas jawaban.
Selang 20 menit kemudian datang dua penguji
lainnya. Penguji yang saya takuti. Professor Preissner dan Professor Skrandies.
Kenapa saya takut sama mereka, karena mereka itu pinter banget! Saya Cuma takut
mereka nanya yang macem-macem seakan akan saya adalah teman sepenelitiannya
atau apapun itu.. Ja ja ich weiss, ich machte mir nur sorgen.
Physikum lisan pun dimulai oleh saya. Diawali
menjelaskan preparat tulang yang saya amati. Dari mulai jaringan apa saja yang
saya lihat, ciri-ciri khusus dari
jaringan itu, bagaimana proses pertumbuhan tulang dan lapisan-lapisan tulang
pada Embryo. Professor Middendorf mengangguk-anggukan kepala tanda setuju juga terkadang
bertanya tentang tema tersebut lebih dalam. Setelah ia rasa cukup, ia bergegas
berdiri lalu berkata, “Ja.. was Sie erzahlt haben ist sehr schoen. Wir gehen
jetzt zur Leiche”--“Ya.. apa yang anda terangkan tadi sangat bagus. Sekarang
kita pergi ke mayat”. Saya pun ikut berdiri dan mendekati potongan mayat yang
diselimuti lapisan plastik biru. Bergegas saya mengenakan sarung tangan dan
berdiri menandakan siap untuk ditanya.
Professor Middendorf memulainya dengan kalimat, “Suchen Sie wo Diaphragma ist,
und erzaehlen Sie darueber”--“Coba sekarang anda cari dimana letak Diafragma
dan terangkan tentang itu”. Rasanya...
rasanya saya pengen memukul kepala tanda kesal. Dari sekian banyak tema
Anatomi, kenapa yang ditanya adalah Diafragma, yang cuma selewat saya baca.
Masih banyak organ lainnya seperti paru-paru, jantung, ginjal, otak dsb yang
bisa dibahas.. kenapa harus ini... Apa
mau dikata, saya mulai saja menerangkan sebanyak yang saya ingat. Und
alhamdulillah war nicht schlimm. Ich hab zwar viel geratten aber tatsachlich
richtig!! Dan tanpa terasa 20 menitpun berlalu.
Ujian dilanjutkan oleh teman saya Can Luo
dengan Fisiologi. Professor Skrandies memberikan satu lembar kertas yang berisi
6 grafik. Can disuruh menjelaskan salah satu dari 6 grafik tersebut. Dia pun
memilih grafik Hoffman-Reflex. Bum.. bum.. bumm.. Tiba-tiba suasana ujian pun
menjadi tegang. Can Luo sangat grogi sehingga buyar semua yang sudah dia
pelajari. Professor Skrandies juga terlihat seperti kesal karena Can Luo selalu
salah menjawab pertanyaan. Oh tidak.. jangan sampai ini berimbas kepada
ujian-ujian setelah ini, pikirku dengan khawatir.
Ujian fisiologi Can pun selesai. Lanjut
giliran saya bersama Professor Preissner, sang ahli biokimia, peneliti darah,
komposisi ekstra sel matrix dan yang tau semuanya. Sebisa mungkin saya
menciptakan suasana nyaman bersama Professor Preissner. Dimulai dengan kelenjar
tiroid, siklus hypophyse-hypothalamus, proses transkripsi dan terakhir fungsi
Glutathion bersama NADPH, dann 20 Minuten schon vorbei. Alhamdulillah Biokimia
berjalan lebih mulus dari yang saya duga.
Setelah Can melewati Anatomi nya, saya lanjut
dengan ujian pelajaran fisiologi bersama Professor Skrandies. Dimulai dengan
tema pernapasan, inspiratorische reverse Volumen, dan diakhiri dengan tema
Perimetrie-yang-tidak-saya-pelajari-secara-dalam. Dengan banyak menebak jawaban
dan raut wajah Professor Skrandies yang tidak puas, ujian pun berakhir. Saya
dan Can Luo diminta untuk keluar ruangan sebentar, sementara para dosen
mendiskusikan apakah kita lulus atau tidak, jika ya berapa nilainya. Tak mau
menebak-nebak hasilnya, saya hanya pasrah menyerahkan semuanya pada Allah SWT.
Tanpa disangka saya diumumkan lulus, bahkan dengan nilai yang tidak saya duga!
Yeah... Dongeng cerita tentang Physikum berakhir dengan bahagia dan saya pun
sekarang sedang menikmati indahnya Indonesia tanpa terbayang-bayangi “harus
belajar apa hari ini?” :D
Prof. Preissner-Me-Prof. Skrandies-Prof. Middendorf |
Jakarta, 24.03.2015
sambil-menyelesaikan-makan-tempe-kecap