Pages

Tuesday, March 24, 2015

Cukup, Physikum sekali saja..




Ja ja.. cukup sekali saja hehe. Kali ini (atas permintaan beberapa orang juga) saya ingin berbagi pengalaman mengenai persiapan dan pelaksanaan physikum. 

Sebelum dimulai, udah tau kan apa itu Physikum? Kalo belum sila baca http://syifamaisani.blogspot.de/2014/10/sistem-kuliah-kedokteran-di-jerman.html Singkatnya sih ujian negara. Kenapa saya bilang Physikum cukup sekali saja..  Karena untuk lulusnya penuh penuh perjuangan besar. Saya kapok hehe

Semester 4 memang semester paling santai.. Sedikit presentasi, sedikit kuliah, praktikum biokimia yang lebih chillig dibanding praktikum fisiologi di semester 3, juga sedikit ujian akhir semester. Dafuer ist aber Physikum sebagai penggantinya. 

Memasuki awal semester 4 saya sudah membuat jadwal belajar mempersiapkan Physikum. Dimulai dengan Fisiologi, pelajaran yang sulit dimengerti untuk saya. Fisiologi 2,5 Minggu, Biokimia 2,5 Minggu, Anatomi 2 Minggu, lanjut dengan Fisika Kimia Biologi dan Psikologi 1 Minggu. Setiap hari kerja saya cuma membaca skrip2 pelajaran tersebut, mengulang juga mengerjakan soal Physikum tahun-tahun sebelumnya agar tau bagaimana bentuk soal dan tema apa saja yang sering keluar. 


Sangat sulit fokus mempersiapkan Physikum selama bulan Oktober hingga Januari. Pasalnya ada kesibukan kuliah lainnya seperti praktikum biokimia di Labor yang memakan waktu 6-8 jam setiap minggunya, juga presentasi sana sini. Awal Februari tiba, mulailah fokus tancap gas untuk Physikum. Bangun tidur lebih awal, gelap-gelap naik sepeda pergi ke perpustakaan. Menunggu sampai perpustakaan buka lalu berebut ruangan paling nyaman dengan para mahasiswa “streber” lainnya. Belajar di perpustakaan mulai dari setengah 8 pagi sampai jam 11 malam menjadikan kamar dirumah hanya  sebatas tempat rebahan, menunggu datangnya hari esok untuk melanjutkan belajar di perpustakaan.  Kulkas dirumah kosong tanpa persediaan makanan, kamar penuh dengan kertas kertas catatan dan buku-buku pelajaran, tembok berisi penuh dengan tulisan-tulisan physikum, pakaian kotor yang menumpuk disudut kamar dan tak lupa juga, otak saya yang penuh dengan pikiran physikum physikum dan physikum. 

Sampai saatnya tiba tanggal 10 dan 11 Maret untuk mengikuti Physikum tertulis. Pukul setengah 9 pagi sebagian besar mahasiswa sudah berkumpul di depan Kongreshalle Berliner Platz, tempat ujian kami. Pintu gerbang dibuka jam 9 pagi. Kami pun  masuk ke ruangan Kongres tersebut dan mencari tempat duduk masing-masing berdsarkan nomor ujian. Tempat saya cukup enak, tidak terlalu depan juga terlalu belakang.  Setelah pengawas membacakan peraturan selama ujian, kami pun memulai mengerjakan soal.  Halaman pertama.. kedua.. ketiga.. ah... saya lewati..  Itu semua soal fisika. Saya tidak mau dibuat pusing sejak awal dengan fisika. Saya pun mulai dengan soal nomor 20. Pelajaran Fisiologi dan Biokimia. Satu jam berlalu... soal-soal ujian tiba-tiba merasa sulit dimengerti. Mendadak tidak mengerti bahasa jerman. Saya panik. Tak lama Ibu pengawas naik ke atas panggung dan berkata ”Meine Damen und Herren, jetzt ist schon halbe Zeit durch”--“Para peserta diinfokan bahwa setengahnya waktu sudah lewat”. Halbe Zeit? Setengahnya waktu?  Apa artinya.. apa maksudnya waktu tinggal setengah jam lagi? Atau maksudnya setengah dari waktu seharusnya? Saya benar-benar panik.. tidak bisa mengerti bahasa jerman. Kaki saya mulai dingin. Peserta ujian dibelakang saya pun mulai berisik dengan menggerakkan sepatunya, sehingga konsentrasi saya benar-benar buyar. Saya teguk air putih dihadapan saya. Masih panik. Saya ambil bekal yang dibawa, saya makan dan rehat sejenak. Saya pun memutuskan pergi ke toilet untuk mencuci muka.  Ya.. alhamdulillah.. sekarang saya segar lagi. Kembali saya melanjutkan mengerjakan soal ujian sampai ketika dimana hanya soal fisika lah yang belum saya jawab. Urgghhhh.. gerutu saya. Memang saya tidak suka fisika! Dari 4 jam waktu ujian dengan 160 soal, saya butuh 1 jam sendiri untuk bisa mengerjakan soal fisika yang hanya 20 soal... Waktu ujian pun habis. Saya menarik napas dalam-dalam.  “Das warrr richtiggg schlimmmm!!!”--“Tadi itu parah bangeeettt!!”, gerutu saya dalam hati.
Hari pertama Physikum tertulis benar-benar membuat saya down. Saya kurang yakin bahwa saya bisa lulus. Banyak soal yang sulit dikerjakan, banyak jawaban yang saya tebak. Argh.. pasrah.. Fix und fertig! Saya terkapar diatas kasur. Mengistirahatkan badan dan pikiran yang habis dipompa selama 4 jam tadi.

11 Maret 2015, Physikum hari ke dua dengan pelajaran Biologi, Anatomi, Histologi dan Psikologi. Ini adalah kesempatan terakhir saya untuk mengumpulkan banyak poin agar bisa lulus. Kemarin biarlah jadi kemarin. Kali ini tidak ada panik, pikir saya optimis. Pukul 09.05 ujian pun dimulai.. Yap! Benar saja.. Kali ini jauh lebih baik dari kemarin. Banyak soal yang bisa langsung saya jawab. Saya tidak lagi peduli dengan teman di belakang saya yang sering membuat kegaduhan kecil. Tepat dua jam kemudian, saya selesai mengerjakan 160 soal Physikum. Masih ada sisa waktu 2 jam lagi, saya gunakan untuk mengecek jawaban atau mungkin melihat kembali jawaban yang kurang yakin. Dan waktu pun habis. 

Oje.. Physikum benar-benar membuat saya lelah. Tidak habis pikir. Mengapa orang jerman suka sekali membuat ujian 4 jam non stop tanpa istirahat sekalipun. Selama dua hari berturut-turut. Ketika Hammerexamen bahkan lebih parah lagi. Sehari 5 jam, selama 3 hari berturut-turut. Ya mungkin memang para bule ini hobinya belajar. Terima saja. Siapa suruh mau kuliah disini, Syif :D
Selesai Physikum tertulis bukan berarti selesai semuanya. Es kommt noch Physikum lisan. Kelompok saya kebagian tanggal 20 Maret jam 9 pagi. Persiapan ujian lisan ini lebih penuh drama. Saya seringkali menangis karena sulitnya mempelajari tema yang diinginkan dosen-dosen penguji atau juga karena stress.  Saya lelah. Tidak sanggup lagi belajar. Terlalu keras kuliah disini. Cuma ingin liburan. 

Jumat, 20 Maret 2015 pun tiba. Pukul 08.30 saya bersama teman saya Can Luo dari China sudah berada di ruangan uji. Kami menunggu Professor Middendorf selaku kepala penguji kami. Panik? Alhamdulillah tidak. Entah mengapa saat itu saya merasa tenang sekali. Tidak panik, tidak gugup. Professor Middendorf mulai memberikan kami preparat untuk dilihat dibawah mikroskop. Dari awal saya hanya berharap, semoga bukan preparat tulang, ovar ataupun otak. Kenyataannya, ya.. saya mendapatkan preparat yang saya tidak mau. Tulang. Errrr... Preparat tersebut harus kami teliti dan hasilnya kami tulis diatas kertas jawaban. 

Selang 20 menit kemudian datang dua penguji lainnya. Penguji yang saya takuti. Professor Preissner dan Professor Skrandies. Kenapa saya takut sama mereka, karena mereka itu pinter banget! Saya Cuma takut mereka nanya yang macem-macem seakan akan saya adalah teman sepenelitiannya atau apapun itu.. Ja ja ich weiss, ich machte mir nur sorgen.  

Physikum lisan pun dimulai oleh saya. Diawali menjelaskan preparat tulang yang saya amati. Dari mulai jaringan apa saja yang saya lihat,  ciri-ciri khusus dari jaringan itu, bagaimana proses pertumbuhan tulang dan lapisan-lapisan tulang pada Embryo. Professor Middendorf mengangguk-anggukan kepala tanda setuju juga terkadang bertanya tentang tema tersebut lebih dalam. Setelah ia rasa cukup, ia bergegas berdiri lalu berkata, “Ja.. was Sie erzahlt haben ist sehr schoen. Wir gehen jetzt zur Leiche”--“Ya.. apa yang anda terangkan tadi sangat bagus. Sekarang kita pergi ke mayat”. Saya pun ikut berdiri dan mendekati potongan mayat yang diselimuti lapisan plastik biru. Bergegas saya mengenakan sarung tangan dan berdiri menandakan siap  untuk ditanya. Professor Middendorf memulainya dengan kalimat, “Suchen Sie wo Diaphragma ist, und erzaehlen Sie darueber”--“Coba sekarang anda cari dimana letak Diafragma dan terangkan tentang itu”.  Rasanya... rasanya saya pengen memukul kepala tanda kesal. Dari sekian banyak tema Anatomi, kenapa yang ditanya adalah Diafragma, yang cuma selewat saya baca. Masih banyak organ lainnya seperti paru-paru, jantung, ginjal, otak dsb yang bisa dibahas.. kenapa harus ini...  Apa mau dikata, saya mulai saja menerangkan sebanyak yang saya ingat. Und alhamdulillah war nicht schlimm. Ich hab zwar viel geratten aber tatsachlich richtig!! Dan tanpa terasa 20 menitpun berlalu.

Ujian dilanjutkan oleh teman saya Can Luo dengan Fisiologi. Professor Skrandies memberikan satu lembar kertas yang berisi 6 grafik. Can disuruh menjelaskan salah satu dari 6 grafik tersebut. Dia pun memilih grafik Hoffman-Reflex. Bum.. bum.. bumm.. Tiba-tiba suasana ujian pun menjadi tegang. Can Luo sangat grogi sehingga buyar semua yang sudah dia pelajari. Professor Skrandies juga terlihat seperti kesal karena Can Luo selalu salah menjawab pertanyaan. Oh tidak.. jangan sampai ini berimbas kepada ujian-ujian setelah ini, pikirku dengan khawatir. 

Ujian fisiologi Can pun selesai. Lanjut giliran saya bersama Professor Preissner, sang ahli biokimia, peneliti darah, komposisi ekstra sel matrix dan yang tau semuanya. Sebisa mungkin saya menciptakan suasana nyaman bersama Professor Preissner. Dimulai dengan kelenjar tiroid, siklus hypophyse-hypothalamus, proses transkripsi dan terakhir fungsi Glutathion bersama NADPH, dann 20 Minuten schon vorbei. Alhamdulillah Biokimia berjalan lebih mulus dari yang saya duga.
Setelah Can melewati Anatomi nya, saya lanjut dengan ujian pelajaran fisiologi bersama Professor Skrandies. Dimulai dengan tema pernapasan, inspiratorische reverse Volumen, dan diakhiri dengan tema Perimetrie-yang-tidak-saya-pelajari-secara-dalam. Dengan banyak menebak jawaban dan raut wajah Professor Skrandies yang tidak puas, ujian pun berakhir. Saya dan Can Luo diminta untuk keluar ruangan sebentar, sementara para dosen mendiskusikan apakah kita lulus atau tidak, jika ya berapa nilainya. Tak mau menebak-nebak hasilnya, saya hanya pasrah menyerahkan semuanya pada Allah SWT. Tanpa disangka saya diumumkan lulus, bahkan dengan nilai yang tidak saya duga! Yeah... Dongeng cerita tentang Physikum berakhir dengan bahagia dan saya pun sekarang sedang menikmati indahnya Indonesia tanpa terbayang-bayangi “harus belajar apa hari ini?” :D

Prof. Preissner-Me-Prof. Skrandies-Prof. Middendorf



Jakarta, 24.03.2015
sambil-menyelesaikan-makan-tempe-kecap